Senin, 24 September 2012

islamisasi sains


KRISIS METAFISIK DALAM SAINS MODERN DAN URGENSI ISLAMISASI SAINS[1]

Oleh :
Edy Chandra, S.Si[2]

‘Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.  Dan apakah Rabbmu tidak cukup bagi kamu bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu.”  (Q.S. 41 : 53)

PENDAHULUAN

Berkat ilmu pengetahuan dan teknologi, kini jarak tidak lagi menjadi masalah yang berarti dalam dimensi hidup manusia. Dunia menjadi kecil. Siapapun bisa saling bercerita panjang lebar dari dua sisi dunia yang berbeda. Semua pekerjaan rutin bisa diselesaikan dengan cepat. Tapi ternyata itu tak membuat manusia mengaku lebih bahagia. Manusia menjadi miskin terhadap perasaan kemanusiaannya sendiri. Di manakah sumber masalahnya? Manusianya? Ipteknya?
Sains adalah sarana pemecahan masalah mendasar setiap peradaban. Ia adalah ungkapan fisik dari world view di mana dia dilahirkan. Maka kita bisa memahami mengapa di Jepang yang kabarnya sangat menghargai nilai waktu demikian pesat berkembang budaya “pachinko” dan game. Tentu disebabkan mereka tak beriman akan kehidupan setelah mati, dan tak mempunyai batasan tentang hiburan.

Kini ummat Islam hanya sebagai konsumen sains yang ada sekarang. Kalaupun mereka ikut berperan di dalamnya, maka – secara umum — mereka tetap di bawah kendali pencetus sains tersebut. Ilmuwan-ilmuwan muslim masih sulit menghasilkan teknologi-teknologi eksak — apalagi non-eksak — untuk menopang kepentingan khusus ummat Islam.
Dunia Islam mulai bangkit (kembali) memikirkan kedudukan sains dalam Islam pada dekade 70-an. Pada 1976 dilangsungkan seminar internasional pendidikan Islam di Jedah. Dan semakin ramai diseminarkan di tahun 80-an.  Menurut pandangan Islam, cakupan sains tidaklah terbatas pada aspek material yang bertebarab di jagat raya, sebagaimana pandangan Barat selama ini.  Islam memberikan ruang lingkup yang lebih luas terhadap sains yang meliputi tiga aspek.   Pertama, aspek metafisik ysng dibawa oleh wahyu.  Aspek ini menjawab pertanyaan-pertanyaan abadi yang selalu muncul dalam jiwa manusia, yaitu dari mana, ke mana, dan bagaimana.  Dengan memahami jawaban pertanyaan-pertanyaan ini menjadi manusia tahu akan dirinya, tahu perjalanan dan misinya, dan tahu pula akan Tuhannya.  Menurut Islam, ilmu inilah yang menempati tempat tertinggi.  Kedua aspek humaniora, dan studi-studi yang berkaitan dengannya, meliputi pembahasan mengenai kehidupan manusia, psikologi, sosiologi, ekonomi, politik, dan disiplin ilmu lain yang berkaitan  dengan kebutuhan manusia.  Ketiga, aspek material, yang mencakup ilmu matematika dan ilmu alam, ilmu falak, kedokteran, teknik, dan lain-lain.  Tegasnya segala ilmu yang dibangun di atas observasi dan eksperimen.  Ketiga aspek ini, menurut Islam tidak boleh dipisahkan satu dengan yang lainnya, karena disinilah letak kekuatan dan kesatuan ilmu dalam Islam seperti diisyaratkan Al Qur’an dalam surat 41 : 53 diatas.
            Memang benar bahwa Barat telah memperoleh kemajuan yang sangat besar baik di bidang sains maupun teknologi, menurut terminologi mereka, sejak mereka memisahkan aspek metafisik dari pemikiran dan kehidupan mereka.  Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pesatnya perkembangan sains dan teknologi tersebut diikuti pula oleh berbagai dampak negatif yang semakin besar manakala kehilangan ikatan aspek metafisiknya. Dalam pandangan Ziauddin Sardar, sebagian besar sains modern yang ada sekarang ini menyebar karena dominasi Barat di bidang ini, dan tumbuh dengan akar budaya, illusi, etos atau sistem nilai Barat, maka mudahlah dipahami bahwa sains modern atau sains Barat tidak mungkin bersifat universal, netral dan bebas nilai.  Sejauh mana sains modern bersifat universal, tidak netral, dan bebas nilai, para ilmuwan muslim mempunyai pendapat yang berbeda-beda.
            Sementara itu, Sayid Hossein Nasr memandang bahwa isi dan penerapan sains barat telah terpisah dari ilmu pengetahuan wahyu akibat dari proses sekularisasi, sehingga seluruh rangkaian sains menjadi salah dan teramat berbahaya.  Karenanya, Sardar memandang perlu untuk merekontruksi sains dan membentuk apa yang disebut dengan Sains Islam.

BUDAYA, SISTEM NILAI, DAN SAINS MODERN
            Budaya umumnya diartikan sebagai sistem nilai yang dihayati oleh sekelompok manusia (di satu lingkunganhidup tertentu, di satu kurun waktu tertentu). Jadi, “budaya masyarakat Eropa” adalah sistem nilai yang dihayati oleh manusia Eropadalam kurun waktu tertentu.  Nilai yang dimaksud adalah :
1.      Standar nilai atau asas yang dipakai sebagai dasar penilaian (secara sadar ataupun tidak) mengenai apa saja
2.      Yang memiliki nilai itu sendiri, baik yang berbentuk riil dan dapat dijamah (tangible); seperti benda sejarah, rumah ibadah & adat maupun teknoligi,  ataupun yang tidak dapat dijamah (intangible); seperti adat istiadat, disiplin, hukum, gagasan (sains, sastra, nilai seni dan ideologi).
Kerja dan proses pendidikan banyak berkaitan dengan nilai-nilai yang intangible tersebut sebab pendidikan adalah bagian dari budaya dan bukan sebaliknya.  Dengan pengertian budaya yang demikian, maka segera terlihat bahwa sains yang kemudian melahirkan teknologi, memegang peranan besar dalam perkembangan budaya dunia, menandingi peran ideologi, seni dan sastra.
Teknologi sendiri dipahami sebagai “upaya sungguh-sungguh dan teratur terhadap pendayagunaan hasil-hasil penelitian ilmiah untuk mendapatkan dalam cara-cara memperoleh hasil produksi” ataupun “kumpulan cara yang dapat memudahkan mnusia untuk mencapai kehidupan yang lebih mudah”. Kedua definisi ini sama-sama meletakkan kebutuhan manusia pada posisi tertinggi. Akibatnya, tabaiat manusia atau kelompok manusia akan mendominasi misi yang dibawa oleh teknologi tersebut. Ini terbukti dari perjalanan budaya modern itu sendiri dan perkembangan historisnya.
Kebudayan modern yang pada dasarnya adalah kebudayaan Barat telah melanda seluruh dunia tanpa kecuali bagaikan sebuah gelombang raksasa yang sulit dihadang, bahkan di negeri-negeri muslim.  Kebudayaan modern ini dapat ditelusuri bermula pada humanisme renasisance, diteruskan oleh rasionalisme abad ketujuhbelas, dan kedelapanbelas, serta memuncak pada materialisme dan saintisme pada abad ke 19 dan 20. Jadi, kebangkitan kebudayaan modern ini secara perlahan-lahan berhasil mengeliminir aspek metafisik dan agama (Kristen) dipisahkan dari kehidupan.  Akhirnya, kebudayaan Barat seakan-akan dipandang sebagai sesuatu yang niscaya dan satu-satunya jalan keselamatan bagi manusia.

SIKAP ILMUWAN MUSLIM TERHADAP SAINS MODERN
Dalam majalah Nature (vol. 282/22, 1979), Ziauddin Sardar melaporkan hasil perjalanannya ke delapan negara muslim (Tunisia, Mesir, Turki, Syiria, Arab Saudi, Pakistan, dan Malaysia) yang dipilihnya sebagai negara kunci yang mewakili pendapat dan sikap ilmuwan-ilmuwan muslim di dunia islam terhadap sains modern dan teknologi modern.  Sardar mengklasifikasikan pendapat tersebut menjadi empat pandangan dan sikap yang membentuk suatu spektrum sikap ilmuwan muslim terhadap sains modern.
            Pandangan yang pertama, menganggap sains itu bersifat universal, netral dan bebas nilai, karenanya hanya ada satu sains. Pandangan ini sebenarnya merupakan pandangan yang dominan di kalangan ilmuwan Barat dan juga para ilmuwan Tunisia yang diwakili oleh Ali El-Hilli.  Bahkan El-Hilli mengungkap, “Kita tidak dapat mengkompromikan rasionalitas dasar dari sains dengan urusan-urusan keagamaan. Jika kita kompromikan obyektivitas dan netralitas sains dengan nilai-nilai dan etika islam, maka kita akan menghancurkan landasan terdasar dari sains itu sendiri. Pandangan ini juga dianut oleh sebagian ilmuwan di Mesir, Syiria dan Turki
            Pandangan kedua, banyak dianut di Iran dan di Arab Saudi, seperti diungkap oleh Abdulah Umar Nassef, “Sains sekarang adalah sains Barat yang tumbuh dengan akar-akar budaya, etos, ilusi dan nilai-nilai Barat.  Karenanya, harus direkontruksi dengan sains islami. Dalam Islam, Sains harus tunduk di bawah tujuan-tujuan masyarakat. Tujuan umat islam adalah mempererat persaudaraan, mengurangi konsumsi dan meningkatkan kesadaran spiritual”. Jelas bahwa pendapat ini menghendaki Islamisasi Sains bukan saja pada tujuan Sains tetapi juga landasan falsafinya..  Karenanya, Waqar Hussaini mengungkapkan bahwa “sains islami tidak dapat dipisahkan secara ontologis maupun etimologis dari konsep islam tentang Tuhan. Sains Islam adalah sains untuk ummat dan bekerja di dalam parameter-parameter konsep islam tentang maslahat dan memajukan serta menjaga “Dhoruriyyat al Khomsah”.
            Diantara kedua kutub pendapat di atas terdapat dua pendapat lain.  Pendapat Ketiga, misalnya seperti diungkap dari Ali Kattani, “Sains Islam tidak berbeda secara radikal terhadap sains Barat. Hanya saja prioritas riset dan penekanannya berbeda sehingga baik kuantitas maupun kualitas isinya juga berbeda. Begitu pula tujuan-tujuan pemakaiannya.”
            Pandangan Keempat, merupakan pandangan ilmuwan Pakistan dan Malaysia yang menganggap isi sains bersifat bersifat universal, tetapi penerapannya harus untuk tujuan-tujuan islami.
            Di samping itu, terdapat pula pandangan lain yang pada prinsipnya lebih menitikberatkan pada sains natural (sains alam), seperti diungkap oleh Maurice Bucaille. Ia beranggapan bahwa sains modern sekarang ini sudah islami justru karena unversalitasnya. Buktinya, banyak penemuan-penemuan sains modern sudah diisyaratkan oleh Al Qur’an.
            Dengan demikian, jelaslah bahwa terdapat spektrum sudut pandang yang cukup luas dimulai dari universalisme sains yang konservatif, islamisasi moderat yang tidak menganggap perlu islamisasi filsafat sains, universalisme liberal yang mengizinkan islamisasi tujuan penerapan sains, dan akhirnya baik tujuan maupun landasan filsafatnya perlu diislamisasikan serta paham Bucaillisme yang lebih menitikberatkan pembuktian sains dengan Al Qur’an.

Dari spketrum pandangan  pandang tersebut, setidaknya kita dapat mengkategorikan 4 macam pendekatan Sains Islam, yaitu:
1.  I’jazul Qur’an.

I’jazul Qur’an dipelopori Maurice Bucaille yang sempat “boom” dengan bukunya “La Bible, le Coran et la Science” (edisi Indonesia: “Bibel, Qur’an dan Sains Modern“).  Dalam konteks ini, juga telah beberapa kali dilangsungkan Seminar Internasional tentang I’jazul Qur’an dalam Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.  Pendekatannya adalah mencari kesesuaian penemuan ilmiah dengan ayat Qur’an. Hal ini kemudian banyak dikritik, lantaran penemuan ilmiah tidak dapat dijamin tidak akan mengalami perubahan di masa depan. Menganggap Qur’an sesuai dengan sesuatu yang masih bisa berubah berarti menganggap Qur’an juga bisa berubah.

2. Islamization of Disciplines.

Ismail Raji’ Al Faruqi pada tahun 1982 mengajukan suatu konsep islamisasi sains dengan suatu program terinci yang mensintesiskan ilmu-ilmu tradisional dan islam ke dalam buku-buku dasar sains modern untuk para pelajar muslim. Yakni dengan membandingkan sains modern dan khazanah Islam, untuk kemudian melahirkan text-book orisinil dari ilmuwan muslim. Gagasan utama Ismail Raji al-Faruqi, terungkap dalam bukunya yang terkenal, Islamization of Knowledge, 1982.  Ide Al-Faruqi ini mendapat dukungan yang besar sekali dan dialah yang mendorong pendirian International Institute of Islamic Thought (IIIT) di Washington (1981), yang merupakan lembaga yang aktif menggulirkan program seputar Islamisasi pengetahuan.  Rencana Islamisasi pengetahuan al-Faruqi bertujuan untuk:
  1. Penguasaan disiplin ilmu modern.
  2. Penguaasaan warisan Islam.
  3. Penentuan relevansi khusus Islam bagi setiap bidang pengetahuan modern.
  4. Pencarian cara-cara untuk menciptakan perpaduan kreatif antara warisan Islam dan pengetahuan modern (melalui survey masalah umat Islam dan umat manusia seluruhnya).
  5. Pengarahan pemikiran Islam ke jalan yang menuntunnya menuju pemenuhan pola Ilahiyah dari Allah.
  6. Realisasi praktis islamisasi pengetahuan melalui: penulisan kembali disiplin ilmu modern ke dalam kerangka Islam dan menyebarkan pengetahuan Islam.

Usaha-usaha islamisasi sains Al Faruqi ini, khususnya yang menyangkut pandangan perlunya islamisasi tujuan fislasat sains telah banyak dilakukan meskipun sebatas konsep dan perencanaan langkah-langkah kerja. Sebelumnya, Syed Naquib AL Attas pada tahun 1977 telah pula mengajukan konsep dewesternisasi sains dalam konferensi dunia pendidikan islam di Mekkah.  Bagi kedua pemikir ini, Al Faruqi dan Al Attas, sains islami ada di masa depan dan berorientasi ke masa depan.
Tujuan-tujuan tersebut kemudian dijabarkan dalam 12 Langkah kerja yang akhirnya didukung dengan pendirian lembaga IIIT (International Institute of Islamic Thought) dan pendirian Universitas Islam Internasional di Kualalumpur, Malaysia dan Islamabad, Pakistan.

3. Membangun sains pada pemerintahan Islami.
Ide ini terutama pada proses pemanfaatan sains. “Dalam lingkungan Islam pastilah sains tunduk pada tujuan mulia.” Ilmuwan Pakistan, Z.A. Hasymi, memasukkan Abdus Salam (salah seorang pemenang hadiah Nobel Fisika) dan BJ Habibie pada kelompok ini.  Mereka mengambil sikap untuk secara aktif membangun penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi secara praktis di bawah kendali negeri muslim.  Dalam hal ini, Abdussalam terlibat aktif dalam upaya penguasaan teknologi nuklir Pakistan, sedangkan Habibie merupakan arsitek utama penguasaan teknologi dirgantara di Indonesia, sekaligus mempelopori pengiriman mahasiswa secara besar-besaran ke Eropa dan Amerika dalam kerangka penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

4. Menggali epistimologi sains Islam (murni).
Epistimologi sains Islam murni digali dari pandangan dunia dunia Islam, dan dari sinilah dibangun teknologi dan peradaban Islam. Langkah radikal ini dipelopori oleh Ziauddin Sardar, dalam bukunya: “Islamic Futures: “The Shape of Ideas to Come”” (1985), edisi Indonesia: “Masa Depan Peradaban Islam, Pustaka, 1987).  Sardar mengkritik ide Al-Faruqi dengan pemikiran:
Karena sains dan teknologilah yang menjaga struktur sosial, ekonomi dan politik yang menguasai dunia. Tidak ada kegiatan manusia yang dibagi-bagi dalam kotak-kotak: “psikologi”, “sosiologi”, dan ilmu politik. Menerima bagian-bagian disipliner pengetahuan yang dilahirkan dari epistimologi Barat berarti menganggap pandangan dunia Islam lebih rendah daripada peradaban Barat.
Sains islam, menurut Sardar, sebagaimana dibuktikan oleh sejarahnya, jelas-jelas berusaha untuk menjunjung dan mengembangkan nilai-nilai dari pandangan dunia dan peradaban islam, tidak seperti sains Barat yang berusaha untuk mengesampingkan semua masalah yang menyangkut nilai-nilai.  Ciri yang unik dari sains islam berasal dari penekanannya pada kesatuan agama dan sains, pengetahuan dan nila-nilai, fisika dan metafisika. Ide ini sejalan dengan pandangan Osman Bakar, bahwa kesadaran religius terhadap tauhid merupakan sumber semangat ilmiah dalam seluruh wilayah pengetahuan

Berkaitan dengan paradigma pengembangan ilmu pengetahuan  dalam Islam, Anis Matta mengusulkan beberapa prinsip sebagai berikut :
1.      Kesatuan ruang (konteks) ilmu pengetahuan
2.      Kesatuan fungsi ilmu pengetahuan
3.      Skala kualitas bukan kuantitas
4.      Konstruktif dan tidak destruktif
5.      Ideal dan aplikatif
6.      Ilmu pengetahuan merupakan Kebutuhan primer bukan sekunder
7.      Pemerataan penyebaran ilmu pengetahuan

PENUTUP
            Tentu saja, upaya islamisasi sains ini masih harus melalui banyak tantangan, dan khususnya di negeri kita, dengan kondisi yang berbeda dari negeri muslim lain, baru sebatas pada sosialisasi dan brainstorming untuk mencari metodologi yang tepat dalam konteks keindonesiaan.


[1] Disampaikan pada Diskusi Ilmiah Bulanan Forum 2000 STAIN Cirebon tanggal 20 Juni 2001
[2] Dosen STAIN Cirebon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar