4 Tipologi
Hubungan Sains dan Agama
Dalam dunia modern sekarang ini sains merupakan karunia tak tertandingi
sepanjang zaman bagi kehidupan manusia dalam menghadapi segala tuntutan dan
perkembangannya. Dan sudah menjadi kebutuhan manusia yang ingin mencapai
kemajuan dan kesejahteraan hidup, untuk menguasai dan memanfaatkan sains
sebagai prasyarat bagi kelangsungan hidupnya. Namun, apakah kemajuan dan
kesejahteraan hidup ini menjadi tujuan tunggal atas penguasaan dan pemanfaatan
sains ?.
Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagi hasil aplikasi
sains tampak jelas memberikan kesenangan bagi kehidupan lahiriah manusia secara
luas. Dan manusia telah mampu mengeksploitasi kekayaan- kekayaan dunia secara
besar-besaran. Yang menjadi permasalahan adalah pesatnya kemajuan itu sering
diikuti dengan merosotnya kehidupan beragama (A. Sahirul Alim,1999:67).
Sebagai makhluk berakal, tentunya manusia juga sangat menyadari
kebutuhannya untuk memperoleh kepastian, baik ilmiah maupun ideologi. Melalui
sains, manusia berhubungan dengan realitas dalam memahami keberadaan diri dan
lingkungannya. Dan agama menyadarkan manusia akan hubungan keragaman realitas
tersebut, untuk memperoleh derajat kepastian mutlak, yakni kesadaran kehadiran
Tuhan. Keduanya sama-sama penjelajahan realitas. Namun kualifikasi kebenaran
yang bagaimanakah yang diperlukan manusia, sehingga realitas sains dan agama
masih sering dipertentangkan ? Untuk menyelesaikan ketegangan yang terjadi
antara sains dan agama dapat ditinjau berbagai macam varian hubungan yang dapat
terjadi antara sains dan agama. Namun, hendaknya terlebih dahulu dipahami
konsep dan paradigma sains menurut para ilmuwan.
Secara terminologi, sains berarti ilmu pengetahuan yang sistematik dan
obyektif serta dapat diteliti kebenarannya ( M. Ridwan, dkk, 1999:577 ).
Sedangkan menurut Achmad Baiquni (1995:58) mendefinisikan sains sebagai
himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh sebagai konsensus para
pakar pada penyimpulan secara rasional mengenai hasil-hasil analisis yang
kritis terhadap data-data pengukuran yang diperoleh dari observasi pada
gejala-gejala alam.
Melalui proses pengkajian yang dapat diterima oleh akal, sains disusun
atas dasar intizhar pada
gejala-gejala alamiah yang dapat
diperiksa berulang-ulang atau dapat diteliti ulang oleh orang lain dalam
eksperimen laboratorium. Kata intizhar
(nazhara) dapat berarti mengumpulkan pengetahuan melalui pengamatan atau
observasi dan pengukuran atau pengumpulan data pada alam sekitar kita, baik
yang hidup maupun yang tak bernyawa.( Abuddin Nata, 1993:100 ).
Dalam mencermati konsep sains, Bruno Guiderdoni (2004:41) mengemukakan
pendapat yang disertai pula penalaran terhadap konsep agama. Dia membedakan
istilah sains dan agama dalam banyak definisi.
1. Bahwa sains menjawab pertanyaan “bagaimana”, sedangkan agama menjawab pertanyaan “mengapa”.
2. Sains berurusan dengan fakta,
sedangkan agama berurusan dengan nilai atau makna.
3. Sains mendekati realitas secara analisis, sedangkan
agama secara sintesis.
4. Sains merupakan upaya manusia untuk memahami alam
semesta yang kemudian akan mempengaruhi cara hidup kita, tetapi tidak membuat
kita menjadi manusia yang lebih baik.
Sedangkan agama adalah pesan yang diberikan Tuhan untuk membantu manusia mengenal
Tuhan dan mempersiapkan manusia untuk
menghadap Tuhan.
Sebagai penguasa yang memiliki
rasa tanggung jawab, manusia ditunjuk oleh Allah SWT untuk menjadi khalifah di
bumi yang tidak lain adalah untuk memelihara dan mengelolanya.
Untuk memperoleh kemampuan itu,
manusia harus mengenal alam lingkungannya dengan baik melalui pengamatan
terhadap alam sekitar dan mengkaji gejala- gejala yang tampak pada pengamatan
itu. Dengan metode yang sudah ditetapkan, sains mengupayakan pemahaman rasional
atas alam fisik hingga melahirkan keyakinan dan mengikis keraguan. Metodologi
yang diturunkan dari seperangkat aturan dan kriteria yang koheren ini sekarang
benar-benar dapat diinterpretasikan atas dasar fakta-fakta yang dapat
diverifikasi oleh siapapun. (Pervez Hoodbhoy, 1993:3).
Sementara
itu dalam perjalanan sejarah sains sering dipandang sebagai satu-satunya bentuk
pengetahuan yang obyektif, karena dapat diakses dan dibuktikan kebenarannya
oleh banyak orang. Karakternya yang
sekuler, sering mengakibatkan terjadinya benturan dengan nilai-nilai agama. Seperti
yang berkembang pada abad lalu, para saintis Barat menganggap bahwa agama lahir
dari keyakinan terhadap unsur-unsur yang menyertainya. Sedangkan sains dianggap
pasti berdasarkan akal, sebab fakta-faktanya dapat dibuktikan dan diakui
kebenarannya. Mereka berfikir bahwa nalar memiliki fondasi tersendiri tanpa
harus merujuk kepada realitas transenden. Sejak saat itu, dunia sains di
Barat terbangun dengan sikap menyingkirkan agama dari kontek pencarian
pengetahuan. (Bruno Guiderdoni,2004:43). Paham sekularitas sains inilah yang
kerap menimbulkan kontroversi dalam hubungannya dengan agama.
Oleh karena itu, Ian G. Barbour (2002:47) mencoba memetakan hubungan
sains dan agama dengan memebuka kemungkinan interaksi diantara keduanya.
Melalui tipologi posisi perbincangan tentang hubungan sains dan agama, dia
berusaha menunjukkan keberagaman posisi yang dapat diambil berkenaan dengan
hubungan sains dan agama. Tipologi ini berlaku pada disiplin-disiplin ilmiah
tertentu, salah satunya adalah biologi. Tipologi ini terdiri dari empat macam
pandangan, yaitu: Konflik, Independensi, Dialog, dan Integrasi yang tiap-tiap
variannya berbeda satu sama lain.
1.
Konflik
Pandangan konflik ini mengemuka
pada abad ke –19, dengan tokoh-tokohnya seperti: Richard Dawkins, Francis
Crick, Steven Pinker, serta Stephen
Hawking. Pandangan ini menempatkan sains dan agama dalam dua ekstrim
yang saling bertentangan. Bahwa sains dan agama memberikan pernyataan yang
berlawanan sehingga orang harus memilih salah satu diantara keduanya.
Masing-masing menghimpun penganut dengan
mengambil posisi-posisi yang bersebrangan. Sains menegasikan eksistensi agama,
begitu juga sebaliknya. Keduanya hanya mengakui keabsahan eksistensi
masing-masing.
Pertentangan antara kaum agamawan
dan ilmuwan di Eropa ini disebabkan oleh sikap radikal kaum agamawan Kristen
yang hanya mengakui kebenaran dan kesucian Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru, sehingga siapa saja yang mengingkarinya dianggap kafir dan berhak
mendapatkan hukuman. Di lain pihak, para ilmuwan mengadakan
penyelidikan-penyelidikan ilmiah yang hasilnya bertentangan dengan kepercayaan
yang dianut oleh pihak gereja ( kaum agamawan ). Akibatnya, tidak sedikit
ilmuwan yang menjadi korban dari hasil penemuan oleh penindasan dan kekejaman
dari pihak gereja. (M. Quraish Sihab,1994:53).
Contoh kasus dalam hubungan
konflik ini adalah hukuman yang diberikan oleh gereja Katolik terhadap Galileo
Galilei atas aspek pemikirannya yang dianggap menentang gereja. Demikian pula
penolakan gereja Katolik terhadap teori evolusi Darwin pada abad ke-19.
Armahedi Mahzar (2004:212)
berpendapat tentang hal ini, bahwa penolakan fundamentalisme religius secar
dogmatis ini mempunyai perlawanan yang sama dogmatisnya di beberapa kalangan
ilmuwan yang menganut kebenaran mutlak obyektivisme sains.
Identifikasinya adalah bahwa yang
riil yaitu dapat diukur dan dirumuskan dengan hubunagn matematis. Mereka juga
berasumsi bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya sumber pengetahuan yang
dapat dipercaya dan dipaham. Pada akhirnya, penganut paham ini cenderung
memaksakan otoritas sains ke bidang-bidang di lur sains. Sedangkan agama, bagi
kalangan saintis barat dianggap subyektif, tertutup dan sangat sulit berubah.
Keyakinan terhadap agama juga tidak dapat diterima karena bukanlah data publik yang
dapat diuji dengan percobaan dan kriteria sebagaimana halnya sains. Agama tidak
lebih dari cerita-cerita mitologi dan legenda sehingga ada kaitannya sama
sekali dengan sains.
Barbour menanggapi hal ini dengan
argumen bahwa mereka keliru apabila melanggengkan dilema tentang keharusan
memilih antara sains dan agama. Kepercayaan agama menawarkan kerangka makna
yang lebih luas dalam kehidupan. Sedangkan sains tidak dapat mengungkap rentang
yang luas dari pengalaman manusia atau mengartikulasikan kemungkinan-kemungkinan
bagi tranformasi hidup manusia sebagaimana yang dipersaksikan oleh agama. (Ian
G. Barbour, 2005:224).
Jelaslah bahwa pertentangan yang
terjadi di dunia Barat sejak abad lalu sesungguhnya disebabkan oleh cara
pandang yang keliru terhadap hakikat sains dan agama. Adalah tugas manusia
untuk merubah argumentasi mereka, selama ilmu pengetahuan dan teknologi yang
mereka kembangkan itu bertentangan dengan agama. Sains dan agama mempengaruhi
manusia dengan kemuliaan Sang Pencipta dan mempengaruhi perhatian manusia
secara langsung pada kemegahan alam fisik ciptaan-Nya. Keduanya tidak saling bertolak
belakang, karena keduanya merupakan ungkapan kebenaran.
2.
Independensi
Tidak semua saintis memilih sikap
konflik dalam menghadapi sains dan agama. Ada
sebagian yang menganut independensi, dengan memisahkan sains dan agama dalam
dua wilayah yang berbeda. Masing-masing mengakui keabsahan eksisitensi atas
yang lain antara sains dan agama. Baik agama maupun sains dianggap mempunyai
kebenaran sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain, sehingga bisa hidup
berdampingan dengan damai (Armahedi Mahzar, 2004:212). Pemisahan wilayah ini
dapat berdasarkan masalah yang dikaji, domain yang dirujuk, dan metode yang
digunakan. Mereka berpandangan bahwa sains berhubungan dengan fakta, dan agama
mencakup nilai-nilai. Dua domain yang terpisah ini kemudian ditinjau dengan
perbedaan bahasa dan fungsi masing-masing.
Analisis bahasa menekankan bahwa
bahasa ilmiah berfungsi untuk melalukan prediksi dan kontrol. Sains hanya mengeksplorasi
masalah terbatas pada fenemona alam, tidak untuk melaksanakan fungsi selain
itu. Sedangkan bahasa agama berfungsi memberikan seperangkat pedoman,
menawarkan jalan hidup dan mengarahkan pengalaman religius personal dengan praktek ritual dan
tradisi keagamaan. Bagi kaum agamawan yang menganut pandangan independensi ini,
menganggap bahwa Tuhanlah yang merupakan sumber-sumber nilai, baik alam nyata
maupun gaib. Hanya agama yang dapat megetahuinya melalui keimanan. Sedangkan
sains hanya berhubungan dengan alam nyata saja. Walaupun interpretasi ini
sedikit berbeda dengan kaum ilmuwan, akan tetapi pandangan independensi ini
tetap menjamin kedamaian antara sains dan agama.
Contoh-contoh saintis yang
menganut pandangan ini diantaranya adalah seorang Biolog Stephen Joy Gould,
Karl Bath, dan Langdon Gilkey. Karl Bath menyatakan beberapa hal tentang
pandangan independendsi ini, yang dikutip oleh Ian G. Barbour (2002:66).
Menurutnya : Tuhan adalah transendensi yang berbeda dari yang lain dan tidak
dapat diketahui kecuali melalui penyingkapan diri. Keyakinan agama sepenuhnya
bergantung pada kehendak Tuhan, bukan atas penemuan manusia sebagaimana halnya
sains. Saintis bebas menjalankan aktivitas mereka tanpa keterlibatan unsur
teologi., demikian pula sebaliknya, karena metode dan pokok persoalan keduanya
berbeda. Sains dibangun atas pengamatan dan penalaran manusia sedangkan teologi
berdasarkan wahyu Ilahi.
Barbour mencermati bahwa
pandangan ini sama-sama mempertahankan karakter unik dari sains dan agama.
Namun demikian, manusia tidak boleh merasa puas dengan pandangan bahwa sains
dan agama sebagai dua domain yang tidak koheren.
Bila manusia menghayati kehidupan
sebagai satu kesatuan yang utuh dari berbagai aspeknya yang berbeda, dan
meskipun dari aspek-aspek itu terbentuk berbagai disiplin yang berbeda pula,
tentunya manusia harus berusaha menginterpretasikan ragam hal itu dalam
pandangan yang lebih dialektis dan komplementer.
3.
Dialog
Pandangan ini menawarkan hubungan
antara sains dan agama dengan interaksi yang lebih konstruktif daripada
pandangan konflik dan independensi. Diakui bahwa antara sains dan agama
terdapat kesamaan yang bisa didialogkan, bahkan bisa saling mendukung satu sama
lain. Dialog yang dilakukan dalam membandingkan sains dan agama adalah menekankan
kemiripan dalam prediksi metode dan konsep. Salah satu bentuk dialognya adalah
dengan membandingkan metode sanins dan agama yang dapat menunjukkan kesamaan
dan perbedaan.
Ian G. Barbour (2005:32)
memberikan contoh masalah yang didialogkan ini dengan digunakannya model-model
konseptual dan analogi-analogi ketika menjelaskan hal-hal yang tidak bisa
diamati secara langsung. Dialog juga bisa dilakukan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tentang ilmu pengetahuan yang mencapai tapal batas.
Seperti : mengapa alam semesta ini ada dalam keteraturan yang dapat dimengerti
? dan sebagainya. Ilmuwan dan teolog dapat menjadi mitra dialog dalam
menjelaskan fenomena tersebut dengan tetap menghormati integritas
masing-masing.
Dalam menghubungkan agama dan
sains, pandangan ini dapat diwakili oleh pendapat Albert Einstein, yang
mengatakan bahwa “ Religion without
science is blind : science without
religion is lame “. Tanpa sains, agama menjadi buta, dan tanpa agama, sains menjadi lumpuh. Demikian
pula pendapat David Tracy, seorang
teolog Katolik yang menyatakan adanya dimensi religius dalam sains bahwa
intelijibilitas dunia memerlukan landasan rasional tertinggi yang bersumber
dalam teks-teks keagamaan klasik dan struktur pengalaman manusiawi (Ian G.
Barbour, 2002:76).
Penganut pandangan dialog ini berpendapat
bahwa sains dan agama tidaklah sesubyektif yang dikira. Antara sains dan agama
memiliki kesejajaran karakteristik yaitu koherensi, kekomprehensifan dan
kemanfaatan. Begitu juga kesejajaran metodologis yang banyak diangkat oleh
beberapa penulis termasuk penggunaan kriteria konsistensi dan kongruensi dengan
pengalaman. Seperti pendapat filosof Holmes Rolston yang menyatakan bahwa
keyakinan dan keagamaan menafsirkan dan menyatakan pengalaman, sebagaimana
teori ilmiah menafsirkan dan mengaitkan data percobaan (Ian G. Barbour,
2002:80). Beberapa penulis juga melakukan eksplorasi terhadap kesejajaran
konseptual antara sains dan agama, disamping kesejajaran metodologis.
Dari uraian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa kesejajaran konseptual maupun metodologis menawarkan
kemungkinan interaksi antara sains dan agama secara dialogis dengan tetap
mempertahankan integritas masing-masing.
4.
Integrasi
Pandangan ini melahirkan hubungan
yang lebih bersahabat daripada pendekatan dialog dengan mencari titik temu
diantara sains dan agama. Sains dan doktrin-doktrin keagamaan, sama-sama
dianggap valid dan menjadi sumber koheren dalam pandangan dunia. Bahkan
pemahaman tentang dunia yang diperoleh melalui sains diharapkan dapat memperkaya
pemahaman keagamaan bagi manusia yang beriman.
Armahedi Mahzar ( 2004 : 213 )
mencermati pandangan ini, bahwa dalam hubungan integratif memberikan wawasan
yang lebih besar mencakup sains dan agama sehingga dapat bekerja sama secara
aktif. Bahkan sains dapat meningkatkan keyakinan umat beragama dengan memberi
bukti ilmiah atas wahyu atau pengalaman mistis. Sebagai contohnya adalah
Maurice Bucaille yang melukiskan tentang kesejajaran deskripsi ilmiah modern
tentang alam dengan deskripsi Al Qur’an tentang hal yang sama. Kesejajaran
inilah yang dianggap memberikan dukungan obyektif ilmiah pada pengalaman
subyektif keagamaan. Pengakuan keabsahan klaim sains maupun agama ini atas
dasar kesamaan keduanya dalam memberikan pengetahuan atau deskripsi tentang
alam.
Pemahaman yang diperoleh melalui
sains sebagai salah satu sumber pengetahuan, menyatakan keharmonisan koordinasi
penciptaan sebagai desain cerdas Ilahi. Seperti halnya ketika memperhatikan
bagian-bagian tubuh manusia dengan strukturnya yang tersusun secara kompleks
dan terkoordinasi untuk tujuan tertentu. Meskipun Darwin melawan pandangan itu
dalam teori evolusi yang mengangggap bahwa koordinasi dan detail-detail
struktur organisme itu terbentuk karena seleksi alam dan variasi acak dalam
proses adaptasi, namun dia sendiri mengakui argumen desain Ilahi, akan tetapi
dalam anggapan sebagai penentu dari hukum-hukum proses evolusi itu yang membuka
kemungkinan variasi detail organisme tersebut, bukan dalam anggapan Tuhan
sebagai perancang sentral desain organisme.
Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam hubungan integrasi ini.
Pendekatan pertama, berangkat dari data ilmiah
yang menawarkan bukti konsklusif bagi keyakinan agama, untuk memperoleh
kesepakatan dan kesadaran akan eksistensi Tuhan. Pendekatan kedua, yaitu dengan menelaah ulang doktrin-doktrin
agama dalam relevansinya dengan teori-teori ilmiah, atau dengan kata lain,
keyakinan agama diuji dengan kriteria tertentu dan dirumuskan ulang sesuai
dengan penemuan sains terkini. Lalu pemikiran sains keagamaan ditafsirkan
dengan filasafat proses dalam kerangka konseptual yang sama. Demikian Barbour
menjelaskan tentang hubungan integrasi ini ( Ian G. Barbour, 2002 : 42 )
Meskipun pengamatan ini terjadi di kalangan saintis Eropa yang dibatasi
pada teologi Kristen, tidak ada salahnya jika umat Islam menyimak proses yang
sama di kalangan Islam sebagaimana Bruno Guidedoni ( 2004 : 42 ) mentransformasikan paham
integritasnya dalam sains dan Islam. Dia memandang pengetahuan itu dapat
disatukan. Ajaran utama Islam menggariskan bahwa semua jenis pendekatan
terhadap realitas pada akhirnya dapat dipersatukan dan makna finalnya diperoleh
dalam perenungan terhadap wajah Tuhan di akhirat.
Para saintis tidak dapat mendefinisikan kebenaran pengetahuannya secara
pasti, walaupun dengan memberikan kriteria-kriteria tertentu untuk membantu
perkembangan pengetahuannya. Adalah sebuah kepastian bahwa sains tidak dapat
menjelajahi seluruh realitas karena sifatnya yang relatif, membuat pencarian
pengetahuan tak akan ada habisnya dan fenomena baru akan muncul terus-menerus.
Akhirnya mayoritas manusia akan lebih disibukkan dengan pengetahuan-pengetahuan
tentang dunia daripada kontemplasi tentang Pencipta.
Dalam meninjau hubungan sains dan agama, Penulis akan menunjukkan
pandangan keempat tipe hubungan sains dan Islam terhadap satu tema penting
seputar penciptaan alam semesta menurut tesis Konflik, Independensi, Dialog,
dan Integrasi.
Sebagian besar astronom abad ke-18 hingga abad ke-19 beranggapan bahwa
alam semesta berukuran relatif kecil dengan usia yang masih muda, kemudian
bermunculan teori-teori spekulatif yang memprakirakan alam semesta yang lebih
luas dan lebih tua, hingga pada gilirannya muncul teori-teori baru kosmologi
yang melahirkan isu-isu mendatar berkaitan dengan agama.
Pandangan Konflik dihadirkan oleh kalangan Atheis yang mengatakan bahwa
keseimbangan gaya pada alam semesta yang menghasilkan kondisi yang kondusif
bagi munculnya kehidupan dan kecerdasan adalah kebetulan semata.
Manusia secara kebetulan berada di dalam sebuah alam semesta yang
memungkinkan hadirnya kehidupan dan kecerdasan. Demikian pula pendapat
meterialis ilmiah, bahwa kosmologi mengarahkan manusia kepada faktor kebetulan
atau keniscayaan, bukan mengarahkan manusia kepada desain atau tujuan.
Sedangkan kalangan Teolog mengklaim adanya keharmonisan antara proses kosmik
dengan Kitab Kejadian. Sejarah kosmik yang menghasilkan pesona yang cerdas
ditafsirkan sebagai ekspresi dari tujuan Tuhan dan sebagai manifestasi sifat
Tuhan yang cerdas dan personal.
Masih dalam permasalahan yang sama, pendukung Independensi mengkalim
bahwa makna religius dari penciptaan dan fungsi penciptaan tidak ada kaitannya
dengan teori ilmiah tentang proses fisika kosmologi yang terjadi pada masa
lalu. Gagasan tentang penciptaan yang dikemukakan adalah bahwa dunia tidak pula
menjadi bagian dari Tuhan, atau berbeda dengan Tuhan. Sejumlah Teolog berbagi
pandangan bahwa kitab suci membawa gagasan yang dapat diterima, tidak
tergantung pada kosmologi apapun. Sains dan agama melayani fungsi yang berbeda
dalam kehidupan manusia. Tujuan sains adalah memahami hubungan sebab-akibat
diantara fenomena-fenomena alam, sedangkan tujuan agama adalah mengikuti suatu
jalan hidup di dalam kerangka makna yang lebih besar. Pemisahan tersebut
menutup kemungkinan adanya hubungan positif dan koheren antara sains dan agama.
Pendukung tesis Dialog mengatakan bahwa sains memiliki perkiraan dan
pertanyaan-pertanyaan batas yang tidak dapat dijawab sendiri oleh sains.
Tampaknya, refleksi atas kosmologi memunculkan pertanyaan-pertanyaan batas.
Maka untuk menemukan jawaban atas pertanyaan sains itu, mereka menggunakan
tradisi keagamaan dengan doktrin biblikal tentang penciptaan yang memberikan
konstribusi penting terhadap kemajuan sains tanpa merusak integritas sains itu sendiri.
Pendukung tesis integrasi merespon masalah kosmologi ini dengan korelasi
yang lebih dekat antara kepercayaan keagamaan dengan teori ilmiah daripada yang
dilakukan oleh pendukung tesis Dialog. Gagasan mereka adalah bahwa Tuhan
benar-benar mengontrol semua peristiwa penciptaan yang tampak oleh manusia
sebagai kebetulan. Manusia dapat melihat desain proses keseluruhan di dalam
kehidupan yang terjadi dengan kombinasi dan ciri proses tertentu. Keindahan
bumi yang luar biasa mengekspresikan rasa syukur atau berkah kehidupan serta
bentangan ruang dan waktu kosmos yng tak terbayangkan, memperlihatkan kerja
Sang Pencipta yang diidentifikasi bertujuan sebagai tatanan pemikiran bagi
manusia bahwa segala sesuatu terjadi menurut perencanaan yang sangat terperinci
dan dalam kontrol total Tuhan (
Ian G. Barbour, 2002 : 101 ).
Setelah meninjau pandangan keempat tipe hubungan sains dan agama dalam
merespon masalah penciptaan, penulis lebih mendukung dan mengakomodasi
pendekatan integrasi dalam menghubungkan sains dan Islam, karena dalam hubungan
integrasi ini keanekaragaman realitas yang relatif sepadu dengan Kesatuan
Realitas yang Mutlak. Dimana realitas sains memiliki konvergensi dengan
realitas yang diungkapkan Al-Qur’an mengenai fenomena alam dan manusia. Tanpa
integritas keduanya, manusia akan terus menghadapi problematika modernitas
sains ditengah pesatnya perkembangan teknologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar